Menyelami Masa Lalu

Haji Misbach Sang Propagandis, Islamis? Komunis? Nasionalis?

Administrator
Administrator · 11 min read
Haji Misbach Sang Propagandis, Islamis? Komunis? Nasionalis?

Barangkali sudah tak asing bagi para penggemar sejarah Indonesia mendengar atau membaca nama seorang haji yang juga dikenal sebagai aktivis pergerakan kiri radikal. Ya, Haji Misbach atau Haji Merah (1876 - 1926) adalah seorang saudagar batik asal Surakarta , dikenal vokal bersuara lantang menentang pemerintahan kolonial, mengawali kiprahnya dari organisasi islam kemudian membelot namun tetap lantang melawan penjajahan. Sebagian literatur menyebutkan Haji Misbach mencocokan ajaran Islam dengan Komunis yang menurut asumsinya mempunyai kesamaan1, menurut sumber lain membelotnya Haji Misbach justru karena ketidakpuasan akan organisasi islam dimana dirinya bergabung yang kurang memperhatikan kaum marginal dan tidak tegas menentang penjajahan pemerintah kolonial2, Haji Misbach terkenal sebagai propagandis apalagi setelah bergabung dengan kelompok jurnalistik radikal di masa tersebut. Haji Misbach mengakhiri hayatnya di pembuangan penjajah di Manokwari Papua Barat, 1926, dimakamkan di komplek Pemakaman Kuno Penindi, Manokwari, Papua.3

Haji Gelar Sebenarnya Terhormat

Uniknya Haji di Indonesia adalah sebuah gelar kehormatan yang disandang bagi orang yang telah melaksanakan perjalanan ke Tanah Suci umat Islam (Mekah) dan melaksanakan ibadah haji di situs Kabah. Meskipun sebenarnya gelar haji tidak biasa digunakan di negara lain, tetapi sudah menjadi budaya di Indonesia bahwa mereka menurut adat masyarakat patut mendapat kehormatan, haji dalam pandangan masyarakat adalah level kemuliaan bahwa seseorang telah genap melaksanakan Rukun Islam yang seluruhnya ada lima (Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa dan Haji) dan karenanya masyarakat mempunyai penilaian bahwa seorang haji mestilah lebih saleh dari orang kebanyakan.

Meskipun tentu pandangan tersebut tak seluruhnya benar karena haji sama saja seperti orang kebanyakan dapat melakukan kesalahan dan hal tercela, penghormatan masyarakat kepada haji setidaknya berdasar pada pengorbanan mereka yang beribdah haji dengan menggunakan harta dan waktu yang tak sedikit untuk bisa pergi ke Mekah. Besarnya biaya untuk ber-haji pada jaman dahulu karena panjangnya perjalanan haji bisa ditempuh berbulan-bulan membutuhkan bekal yang cukup dan tak sedikit pula haji yang tak bisa kembali ke tanah air karena sakit atau wafat diperjalanan. Karena sulit dan mahalnya biaya perjalanan haji tersebut hanya mereka yang terbilang kaya dan biasanya mempunyai kedudukan terhormat di masyarakat yang dapat berangkat melaksanakan ibadah haji.

Begitu juga dengan Haji Misbach yang akan kita ceritakan secara ringkas. Haji Misbach dilahirkan di Kauman, di sisi barat alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung Surakarta. Semasa kecil, dia bernama Ahmad, lalu berganti nama menjadi Darmodiprono setelah menikah. Dan usai menunaikan ibadah haji, barulah dia dikenal sebagai Haji Mohamad Misbach. Ayahnya adalah seorang pejabat keagamaan selain juga seorang pedagang batik yang kaya raya.

Sejak kecil sudah biasa membantu ayahnya berdagang batik. Pada usia sekolah, dia ikut pelajaran keagamaan dari pesantren, selain di sekolah bumiputera “Ongko Loro”. Basis pesantren serta lingkungan keraton Surakarta inilah yang kemudian mempengaruhi sosok Misbach nantinya menjadi seorang Mubaligh. Meski orang tuanya menjabat sebagai pejabat keagamaan keraton, hal tersebut tidak membuat dia jauh dari persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat marjinal.

Setelah pergi menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, namanya berubah menjadi Haji Muhammad Misbach. Meskipun mengenyam pendidikan formal Belanda namun Haji Misbach tidak mampu berbahasa Belanda baik membaca maupun menulis, tetapi Haji Misbach sangat mahir berbahasa Arab. Karena fakta kelemahan tersebut banyak peneliti sejarah pergerakan menyebutkan bahwa Haji Misbach lebih terkenal di kalangan pendidikan agama dan pesantren tradisional ketimbang sebagai tokoh pergerakan nasional.

Tokoh Pergerakan Kaum Muda Islam

Awal abad XX Surakarta menjadi sentra produksi batik dan Haji Misbach belumlah dikenal luas di dunia pergerakan karena kesibukannya sebagai pengusaha batik, usahanya terhitung sukses dengan berhasil mendirikan rumah kerja batik. Medio 1910-an Misbach muncul sebagai tokoh pergerakan kaum muda islam di Surakarta, tidak seperti di Yogya kala itu belum ada pengaruh sekuat KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah di Surakarta, ini karena di Surakarta sudah ada sekolah agama modern pertama di Jawa, Madrasah Mamba’ul Ulum yang didirikan patih R. Adipati Sosrodiningrat (1906) dan Sarekat Islam (SI) pun sudah lebih dulu berkiprah sebagai wadah aktivis pergerakan Islam. Di Surakarta, pegawai keagamaan yang progresif, kiai, guru-guru Al-Quran, dan para pedagang batik mempunyai forum yang berwibawa. Di situlah pendapat mereka yang kerap berbeda satu sama lain tersalur. Kelompok ini menyebut diri “kaum muda Islam”. Gerakan kaum muda Islam semua bersifat modernis tetapi tidak semua reformis. Kegiatan keislaman di Surakarta banyak dipengaruhi kiai yang progresif dalam metode penyampaian tetapi ortodoks secara isi dakwahnya, seperti Kiai Arfah dan KH Muhammad Adnan. Sampai suatu ketika ortodoksi yang cenderung menghindar ijtihad itu terpecah pada tahun 1918. Misbach mendaftar menjadi anggota Sarekat Islam saat didirikan di Surakarta pada tahun 1912, namun tidak terlalu aktif karena prioritas kesibukannya sebagai pengusaha batik.

Wartawan Pelopor Radikal

Inlandsche Journalisten Bond (IJB) dikenal sebagai organisasi wartawan yang radikal, IJB didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo, murid Tirto Adhi Surjo, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Sosro Kartono dan terpampang juga nama Ki Hadjar Dewantara. Keradikalan menentang pemerintah kolonial menyebabkan anggota IJB kerap diadili bahkan diasingkan ke Digul. Pada Tahun 1914 Misbach mendaftar menjadi anggota IJB, dengan alasan simpel bahwa dia adalah pelanggan koran Doenia Bergerak, koran yang merupakan organ dari IJB.

Perjalanan Haji Misbach terhitung sporadis, berkelak-kelok tajam, zig-zag. Berawal dari keluarga Mubaligh Islam tumbuh di lingkungan pendidikan agama dan pesantren mengisi masa muda sebagai kaum muda islam yang bergerak, banyak penulis Muhammadiyah yang menelusuri jejak Haji Misbach menuturkan dia yang asalnya sebagai kawan seperjuangan menjadi berseberangan, meski tidak bermusuhan, namanya cukup dikenal bersama-sama tokoh sejarah Muhammadiyah. Makamnya sering pula dikunjungi untuk sekedar membuktikan atau meluapkan rasa penasaran. Mungkin sebagian orang bisa jadi hanya menganggap sebagai mitos karena tak pernah disinggung di buku sejarah formal.

Kepeduliannya terhadap kaum buruh dan kaum marjinal secara umum menyebabkan Haji Misbach sering terlibat dan cukup pandai mengatur aksi-aksi buruh, seperti aksi mogok kerja, kiprahnya tersebut mendapat kepercayaan sebagai propagandis dari organ-organ buruh. Terlebih setelah memulai pergaulan dengan tokoh komunis hingga Misbach mendapat julukan sebagai “Haji Merah”.

Islam dan Komunisme Sejalan?

Menurut Haji Misbach Islam mengajarkan untuk melawan penindasan dan ketidakadilan hal tersebut sejalan dengan paham komunis yang dipercayainya. Dalam hal ini secara emosi dan kesadaran Haji Misbach merasakan penderitaan saudara-saudaranya akibat penjajahan. Ketika terjadi perpecahan CSI (Central Serikat Islam) Haji Misbach merapat ke SI Merah yang berfaham komunis dan dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) bahkan didapuk jadi pimpinan PKI di Surakarta. Keyakinannya hanya satu “anti kapitalis”, selain dengan tegas menentang penjajah kerap juga melontarkan kritik pedas untuk para bangsawan jawa yang dianggapnya hidup boros dan tidak peduli kaum marjinal.

Namanya sering disandingkan selevel dengan Semaun, Tan Malaka, atau golongan islam kiri lainnya. Di kalangan gerakan Islam, memang namanya nyaris tak pernah disebut karena berpaham komunis. Padahal menurutnya, Islam dan komunisme tidak selalu harus dipertentangkan, Islam seharusnya menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.

Sejak dari IJB Haji Misbach bersahabat dengan Haji Fachroedin dari Kauman, Yogyakarta, karena mempunyai kesamaan sebagai tokoh agama, sebagai pengusaha batik, dan berasal dari keluarga pejabat keraton. Kemudian mereka mendirikan surat kabar Medan Moeslimin Tahun 1915. Karena Haji Fachroedin sebagai murid dan kepercayaan dari KH. Ahmad Dahlan (Tokoh Muhammadiyah) dengan mudah beliau diajak sebagai kontributor tulisan di koran tersebut. Hari Fachroedin juga bersamaan dengan berdirinya Medan Moeslimin mendirikan Suara Muhammadiyah di Yogya. Tahun 1917 Misbach dan Fachroedin juga mendirikan Majalah Islam Bergerak.

Haji Merah Anti Kapitalis

Marco Kartodikromo, seorang wartawan yang juga seorang aktivis kebangkitan nasional asal Hindia Belanda pada saat itu, berkisah tentang Misbach:

… Di pemandangan Misbach tidak ada beda di antara seorang pencuri biasa dengan orang yang dikata berpangkat, begitu juga di antara rebana dan klenengan, di antara bok Haji yang bertutup muka dan orang bersorban cara Arab dan berkain kepala cara Jawa. Dan sebab itu dia lebih gemar memakai kain kepala daripada memakai peci Turki atau bersorban seperti pakaian kebanyakan orang yang disebut “Haji”.

Apa yang tersirat dari tulisan Marco adalah populisme Misbach. Populisme seorang Haji, sekaligus pedagang yang sadar akan penindasan kolonialisme Belanda dan tertarik dengan ide-ide revolusioner yang mulai menerpa Hindia pada zaman itu.

Misbach langsung terjun melakukan pengorganisiran di basis-basis rakyat. Membentuk organisasi dan mengorganisir pemogokan ataupun rapat-rapat umum vergadering yang dijadikan mimbar pemblejetan kolonialisme dan kapitalisme. Orang menggambarkan dirinya sebagai sosok yang tak segan bergaul dengan anak-anak muda penikmat klenengan (musik Jawa) dengan tembang yang sedang populer. Satu tulisan lain tentang Misbach menyebutkan, di tengah komunitas pemuda, dia menjadi kawan berbincang yang enak. Sementara di tengah pecandu wayang orang, dia lebih dihormati ketimbang direktur wayang orang.

… di mana-mana golongan Rajat Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan pergerakannya. Tetapi didalem kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingkan mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan Rajat, Misbach seperti harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil. Kerna dia tidak takoet lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe Islam tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama.

Misbach sangat antikapitalis. Siapa yang secara kuat diyakini menjadi antek kapitalis yang menyengsarakan rakyat akan dihadapinya melalui artikel di Medan Moeslimin atau Islam Bergerak. Tak peduli apakah dia juga seorang aktivis organisasi Islam. Berdamai dengan pemerintah Hindia Belanda adalah jalan yang akan dilawan dengan gigih. Maka kelompok yang anti politik, anti pemogokan, secara tegas dianggapnya berseberangan dengan misi keadilan.

Misbach membuat kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Isinya menohok kapitalis Belanda yang menghisap petani, mempekerja-paksakan mereka, memberi upah kecil, membebani pajak. Residen Surakarta digugat, Paku Buwono X digugat karena ikut-ikutan menindas. Retorika khas Misbach, muncul dalam kartun itu sebagai “suara dari luar dunia petani”. Bunyinya, “Jangan takut, jangan kawatir”. Kalimat ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok. Ekstremitas sikap Misbach membuat dia ditangkap, 7 Mei 1919, setelah melakukan belasan pertemuan “kring” (subkelompok petani perkebunan). Tapi akhirnya Misbach dibebaskan pada 22 Oktober sebagai kemenangan penting Sarekat Hindia (SH), organisasi para bumiputera.

Misbach menegaskan kepada rakyat “jangan takut dihukum, dibuang, digantung”, seraya memaparkan kesulitan Nabi menyiarkan Islam. Misbach pun sosok yang selain menempatkan diri dalam perjuangan melawan kapitalis, ia meyakini paham komunis. Misbach mengagumi Karl Marx. Marx di mata Misbach berjasa membela rakyat miskin, mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Agamapun dirusak oleh kapitalisme sehingga harus dilawan dengan historis materialisme.

Terlibat Partai Komunis

Kongres PKI tanggal 4 Maret 1923 yang dihadiri 16 cabang PKI, 14 cabang SI Merah dan beberapa perkumpulan serikat komunis, Misbach memberikan uraian mengenai relevansi Islam dan komunisme dengan menunjukkan ayat-ayat Al-Qur’an serta mengkritik pimpinan SI Putih yang munafik dan menjadikan Islam sebagai selimut untuk memperkaya diri sendiri. Pada tahun 1923 pula, dia menulis kritikannya terhadap Tjokroaminoto di Medan Moeslimin dengan judul “Semprong Wasiat: Disiplin Organsisi Tjokroaminoto Menjadi Racun Pergerakan Rakyat Hindia”.

Kekecewaannya terhadap lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum dhuafa, membuat dia memilih ikut Perserikatan Kommunist di Indie (PKI) ketika CSI (Central Sarekat Islam) pecah melahirkan PKI/SI Merah, bahkan mendirikan PKI afdeling Surakarta. Dia pun muncul sebagai pimpinan PKI di Surakarta, yang kemudian mengubah surat kabar Islam Bergerak menjadi Ra’jat Bergerak dan penyatuan secara de fakto organ PKI Yogyakarta berbahasa Melayu, Doenia Baroe, ke dalam Ra’jat Bergerak pada September 1923. Berjuang melawan kapitalisme, tak membuat dia tidak menegakkan Islam. Baginya, perlawanan terhadap kapitalis dan pengikutnya sama dengan berjuang melawan setan.

Menjalani Masa Buangan

Bulan Mei 1919 akibat pemogokan-pemogokan petani yang dipimpinnya, Misbach dan para pemimpin pergerakan lainnya di Surakarta ditangkap. Pada 16 Mei 1920, ia kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan. Pada 22 Agustus 1922 dia kembali ke rumahnya di Kauman, Surakarta. Maret 1923, ia sudah muncul sebagai propagandis PKI dan SI Merah, berbicara tentang keselarasan antara paham Komunis dan Islam. Pada tanggal 20 Oktober 1923, Misbach kembali dijebloskan ke penjara dengan tuduhan terlibat dalam aksi-aksi revolusioner yaitu pembakaran bangsal, penggulingan kereta api, pengeboman dan lain-lain. Bulan Juli 1924 ia ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi pemogokan-pemogokan dan teror-teror serta sabotase di Surakarta dan sekitarnya. Walaupun bukan yang pertama diasingkan tetapi ia-lah orang yang pertama yang sesungguhnya berangkat ke tanah pengasingan di kawasan Hindia sendiri.

Terkait dengan “teror-teror” yang terjadi di Jawa tersebut, Misbach tetap dipercaya sebagai otaknya. Dia ditangkap. Dalam pengusutan sejumlah fakta memberatkannya meskipun belakangan para saksi mengaku memberi kesaksian palsu karena iming-iming bayaran dari Hardjosumarto, orang yang “ditangkap” bersamanya. Hardjosumarto sendiri juga mengaku menyebarkan pamflet bergambar palu, arit, dan tengkorak, membakar bangsal sekatenan, dan mengebom Mangkunegaran. Namun Misbach tetap tidak dibebaskan. Dia dibuang ke Manokwari, Papua, beserta dengan istri dan tiga anaknya. Ternyata pembuangan tidak membuatnya berhenti bergerak, dia masih sempat mendirikan Sarekat Rakyat cabang Manokwari, yang anggotannya tidak pernah lebih dari 20 karena gangguan Polisi Belanda. Selain itu, dia juga menyusun artikel berseri “Islamisme dan Komunisme”. Medan Moeslimin kemudian memuat artikel tersebut,

Agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum.

Ditengah ganasnya alam di tempat pembuangannya, dia terserang malaria kemudian meninggal pada 24 Mei 1926 dan dimakamkan di kuburan Fanindi, Manokwari, di samping kuburan istrinya.

Mengenai kisah bagaimana Haji Misbach menikah, berkeluarga dan berumah tangga merupakan sisi gelap yang hampir tak pernah terungkap sumber-sumbernya, ketika wafat ketiga orang anaknya yang telah Yatim Piatu dijemput kembali ke Jawa. Juga belum ditemukan bagaimana sesungguhnya pandangan mendalam Haji Misbach mengenai sistem ekonomi Islam, Kapitalis dan Komunis yang mana disitu terletak perbedaan mendasar ketiga sistem tersebut. Namun penulis mencoba memaklumi motivasi sesungguhnya pergerakan Haji Misbach dimana di waktu tersebut orang-orang yang telah mendapat pendidikan dan tercerahkan menyadari bahwa penderitaan rakyat sesungguhnya adalah karena penjajahan kolonialisme. Haji Misbach bukan mengingkari ajaran Islam tetapi kecewa terhadap organisasi pergerakan Islam saat itu yang mungkin menempuh metode berbeda untuk melawan penjajahan, semangat dan gelora berjuang Haji Misbach menemukan jalannya ketika masa tersebut ajaran Marxisme (Komunis) melanda negeri ini terutama pada konsep perlawanan secara terbuka dan revolusioner.


  1. Tirto.id Haji Misbach Haji Revolusioner Yang Memadukan Islam Komunisme ↩︎

  2. Majalah Intisari Majalah Intisari (cetak) Edisi Juni 2021, Halaman 100. ↩︎

  3. Masroor Library Haji Mohamad Misbach Sosok ‘Kiri’ Tokoh Pergerakan RI Yang Diasingkan Belanda ↩︎

  • ...
  • ...
  • share to:
Mungkin Anda Suka

Posting Terkait

Selintas Sejarah Menyelami Masa Lalu |

Selintas Sejarah

Sejarah juga mencakup disiplin akademis yang menggunakan narasi untuk menggambarkan, memeriksa, mempertanyakan, dan menganalisis peristiwa masa lalu, dan menyelidiki pola sebab dan akibat mereka.

Semua …

Jenis-jenis Pendidikan Ayo Sekolah |

Jenis-jenis Pendidikan

Pendidikan universitas mencakup kegiatan pengajaran, penelitian, dan pelayanan sosial, dan itu mencakup baik tingkat sarjana (kadang-kadang disebut sebagai pendidikan tersier) dan tingkat pascasarjana …

Jejak Karbon Penghijauan |

Jejak Karbon

Pemahaman dan Upaya Mengurangi Dampak Lingkungan

Ketika dunia menjadi lebih sadar akan dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan, istilah “jejak karbon” menjadi semakin umum. Tapi apa sebenarnya jejak karbon itu, dan bagaimana kita …